Jumat, 18 Februari 2011

SULUK MIZANI: MEMBANGUN KARAKTER SANTRI


Kita tahu, Indonesia merupakan bangsa terpadat ke-empat penduduknya di ranking dunia setelah Cina,India,dan Amerika mencapai 220 juta jiwa. Lebih dari itu, mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Seharusnya, Indonesia lebih maju jika dibandingkan dengan Negara-negara lainnya yang mayoritas penduduknya non muslim, mengapa demikian?, karena Islam merupakan ajaran yang lebih mengedepankan nilai-nilai universal, seperti: Kejujuran, keadilan dan toleransi, namun pada kenyataannya nilai-nilai luhur tersebut tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh kebanyakan umat muslim. Tidak salah jika saya gambarkan bangsa Indonesia saat ini mengalami penurunan kualitas moral bangsa. Mulai dari serang menyerang antar kelompok, intoleransi, lebih suka mementingkan diri sendiri, golongan atau parpol, sampai kepada kasus korupsi yang tidak kunjung selesai.    
Suluk Mizani hadir sebagai pencerah kehidupan bangsa, menurut KH. Maman Imanulhaq, yang akrab disapa Kang Maman sebagai Inisiator adalah, Suluk Mizani sebuah metode yang akan menuntun para salik mempunyai karakter qurani dan memegang teguh nilai-nilai islami. Melalui Suluk Mizani ini diharapkan lahir pribadi-pribadi yang dapat diandalkan sebagai agen perubahan (agen of change) yang akan mensosialisasikan nilai nilai cinta kasih, persaudaraan, prinsip keadilan sosial, kemashlahatan dan kerahmatan semesta di tengah kehidupan berbangsa, bernegara serta dalam kehidupan global. Selain orientasi di atas, suluk juga merupakan kolaborasi antara pendidikan dengan permainan yang dapat menyegarkan jasmani dan rohani. Suluk yang berarti Jalan, kata ini kerap dipakai para ulama sufi (salik) untuk menempuh jalan menuju Ilahi.
Beberapa metode Suluk yang saya kutip pula dari Modul Suluk Mizani ialah; Pertama, metode normative. Dimana teks keagamaan, an-nushush ad-diniyyah, seperti Al-Quran, Al-Hadist dan Qaul Ulama jadi rujukan utama dalam menggali nilai-nilai islami yang akan menjadi energi atau motor penggerak transformasi untuk mewujudkan keadilan sosial.  Kedua, metode historis. Yaitu menggali nilai-nilai islami secara induktif dari empiris sejarah Nabi, para sahabat, ulama, auliya dan guru-guru pesantren dalam  membangun kesadaran bersama tentang pentingnya perubahan struktur sosial ke arah kehidupan yang lebih adil, sadar untuk mengorganisasi diri, menyuarakan, dan berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan public. Ketiga, metode reflektif. Hal ini dilakukan dengan cara menggali nilai-nilai islam dari beberapa sumber utama seperti yang dikemukakan di atas, dari deduktif ke induktif atau sebaliknya. Sekaligus mengidentifikasikannya dalam nilai ke al-mizanan sebagai makhzun an-nafsi yang bersifat material dan imaterial yang dikembangkan untuk melahirkan pemikiran yang progresif-transformatif dalam upaya membangun masyarakat.

Bebas Tapi Terbatas
            Layaknya kegiatan kepramukaan, dalam Suluk Mizani terdapat pula yel-yel dan permainan-permainan yang membangun kepercayaan diri para santri/siswa, karena setiap ucapan dan gerakan yang diperagakan oleh para santri/siswa mengandung makna dan berorientasi pada pembangunan karakter (moral) qurani yang memegang teguh pada nilai-nilai Islami.
            Kegiatan ini dimulai sejak fajar sodiq (fajar yang benar tampak) pukul (05.00), setelah menunaikan ibadah subuh, saat otot-otot para santri masih merekat dan syaraf pun belum tersalurkan secara menyeluruh pada bagian tubuh, diawali dengan stimulan membaca do’a pagi hari bersama-sama kemudian dilanjutkan dengan salam seimbang yang diiringi dengan tepukan tangan, berikut bunyinya: Bangkit…!, Al…Mi…zan, Al-Mizan… Seimbang…!.
            Setelah itu, menyanyikan Mars Al-Mizan kemudian dilanjutkan dengan yel-yel yang setiap gerakan dan ucapannya memiliki makna tersendiri, salah satu contoh yel-yelnya ialah, “Menyatu di bumi meraih harapan langit, Al-Mizan! Go 2x Figth 2x Win 2x Al-Mizan…Yes!, sangat sederhana sekali kalimatnya, namun jika ditafsiri kalimat di atas memiliki makna yang sangat dalam, yaitu; membumikan niat atau tujuan kita untuk mencapai cita-cita setinggi-tingginya. Kalimat di atas,  cocok sekali untuk para santri/siswa agar terus bangkit dan  bergairah dalam menyelami samudra ilmu pengetahuan.
            Hal yang paling menarik menurut para santri adalah bebas tapi terbatas, sama halnya dengan serius tapi santai (sersan), metode inilah yang digunakan setiap kegiatan Suluk Mizani berlangsung. Meski kegiatan ini berlangsung seminggu sekali, namun para santri/siswa merasa terkesan dengan suguhan materi yang selalu dikombinasikan dengan permainan-permainan ala santri sendiri yang menyenangkan serta menghibur. Selain itu, Suluk juga dilaksanakan di pagi hari, menurut Ihsan Tandjung yang saya kutip dari situs http://www.eramuslim.com/suara-langit/ringan-berbobot/raih-keberkahan-di-pagi-hari.htm  waktu pagi merupakan waktu istimewa. Ia selalu diasosiasikan sebagai simbol kegairahan, kesegaran dan semangat. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad SAW juga memberi perhatian kepada waktu pagi,  berikut bunyinya:
Nabi shollallahu ’alaih wa sallam berdoa: “Ya Allah, berkahilah ummatku di pagi hari.” Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam biasa mengirim sariyyah atau pasukan perang di awal pagi dan Sakhru merupakan seorang pedagang, ia biasa mengantar kafilah dagangnya di awal pagi sehingga ia sejahtera dan hartanya bertambah.” (HR Abu Dawud 2239)

Membangun Karakter Santri
Strategi membangun karakter bangsa melalui Suluk Mizan baru dirasakan sebatas komunitas tertentu, yaitu para santri/siswa Pondok Pesantren Al-Mizan Jatiwangi-Majalengka. Harapan besarnya, ialah menyebar ke seluruh masyarakat Indonesia, sebagai metode pembelajaran yang tidak hanya mengukur keberhasilan santri/siswa dari segi tercapainya target akademis. Tetapi juga soal pembentukan karakter yang mencerminkan nilai-nilai luhur pada benak santri atau siswa.
Sedikit menoreh sejarah, santri sejak jaman penjajah tidak hanya berperan sebagai penuntut ilmu atau belajar agama saja, akan tetapi mereka memiliki kontribusi besar sebagai palopor perlawanan kaum orientalis dan imprealis barat yang bersama-sama para ulama mempertahankan Islam dan NKRI pada masa penjajahan Portugis dan Belanda, besarnya peran santri sebagai patriot bangsa, diharapkan menjadi cerminan bagi masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat dunia umumnya, bahwa santri mampu membawa perubahan sebgaimana yang diharapkan inisiator dan masyarakat Indonesia, menjunjung tinggi nilai nilai cinta kasih, persaudaraan, prinsip keadilan sosial, kemashlahatan dan kerahmatan semesta di tengah kehidupan berbangsa, bernegara serta dalam kehidupan global.
Tak lepas dari kekurangan dan kelebihannya, setidaknya metode ini sebagai pengantar para santri/siswa menuju cita-cita bangsa dan para pendiri bangsa (founding fathers), ”Syubbanul Yaum Rijalul Ghad”. Selamat berlayar para santri mengarungi samudra ilmu pengetahuan.